Potensi dan Permasalahan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Potensi
dan Permasalahan Kawasan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Potensi Kawasan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
·
Dukungan keberadaan sumberdaya
(hayati dan non hayati) pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang masih
berpotensi untuk ditingkatkan dan dikembangkan pada masing-masing kawasan
pemanfaatan ruang laut dalam rangka
pengembangan kerjasama antar kawasan.
·
Keberadaan kawasan kerjasama
regional antar negara (IMT-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan lain-lain) sebagai
pendorong sekaligus wilayah yang dapat menampung hasil-hasil produksi atau
memanfaatkan jasa-jasa pada sektor pesisir dan kelautan.
·
Keberadaan Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan
aksesibilitas ke luar wilayah Indonesia, dan sekaligus potensi dalam
pengembangan inlet-outlet pada wilayah
pesisir melalui keberadaan pelabuhan laut. Hal ini juga didukung oleh posisi
geografis Indonesia yang strategis, yaitu berada di antara dua benua dan dua
samudera.
·
Telah berkembangnya pemasaran
produk perikanan dan pesisir lainnya ke
luar negeri (ekspor), merupakan potensi yang masih dapat ditingkatkan dari sisi
pangsa pasar, kapasitas maupun keragamannya.
·
Perkembangan teknologi perikanan
dan kelautan yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan pengelolaan sumberdaya
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, serta
dalam meningkatkan mutu hasil produksi perikanan dan pesisir lainnya.
Masalah Kawasan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
·
Kurangnya dukungan prasarana dan
sarana (kelautan dan perikanan) serta keberadaan pusat-pusat kegiatan sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi pesisir.
·
Konflik pemanfaatan dan
kewenangan, karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang
pesisir dan lautan dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir.
Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target dan rencana untuk
mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana
tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya (user conflict)
dan konflik kewenangan (jurisdictional conflict) (Cincin-Sain dan Kenneth,
1998).
·
Kerusakan dan pencemaran
lingkungan pesisir, umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang
bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, bahan beracun sianida,
penambatan jangkar perahu, aktifitas
pelayaran/perkapalan, peristiwa tumpahan minyak, dan lain-lain.
·
Kerusakan akibat pemanfaatan
berlebih (over exploitation) pada sebagian jenis sumberdaya pesisir (khususnya
sumberdaya perikanan tangkap). Beberapa
stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing)
seperti udang.
·
Rendahnya sumberdaya manusia (SDM)
masyarakat dan aparat dalam merealisasikan proses (perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian) kerjasama antar kawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir laut
dan pulau-pulau kecil.
·
Pencurian ikan oleh nelayan asing
yang banyak terjadi pada perairan pada wilayah perbatasan.
Tujuan,
Manfaat dan Urgensi dan
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Langkah-Langkah
Pengelolaan Kawasan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut
yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara
signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan
ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan
residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap
menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu
pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat
berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management,
ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan
pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al, 2004).
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai
proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan
mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan
meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara,
dan disiplin ilmu .Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis
mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang
diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan
program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan
pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat
tahapan utama : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi,
dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knecht 1998).
Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti
diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar
sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan
dari mulai tingkat Desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat
(vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan
mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan
atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan
bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang
relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya
terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan
dinamis (Dahuri, 1997).
Oleh
karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara
berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan
pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu :
a) keterpaduan
wilayah/ekologis
b) keterpaduan sektor
c) keterpaduan disiplin
ilmu
d)
keterpaduan stakeholder.
Dengan
kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir
yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh
segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat
siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan
pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting,
sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai
pembangunan yang berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan (Rahmawati 2004).
Strategi Pengelolaan Berkelanjutan
Dari batasan di atas jelas bahwa pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders.
Menyadari arti penting visi pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan
visi bersama seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas
sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk
terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Mengacu pada visi tersebut, maka
strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan berkelanjutan harus memperhatikan
aspek sumberdaya manusia, hukum, tata ruang, dan kesejahteraan bersama (Dahuri,
1999).
Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan
untuk menangani isu utama yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang
secara simultan juga berkaitan dengan penanganan isu yang lain. Pemikiran dasar
dalam perumusan strategi pengelolaan ini meliputi keberlanjutan
(sustainability), perlindungan dan pelestarian, pengembangan, pemerataan, dan
komunikasi. Dari pemikiran ini, dirumuskan strategi pengelolaan yang
mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan visi pengelolaan (Dahuri, 1999).
Strategi
pengelolaan pesisir yang difokuskan pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut.
1. Identifikasi pengguna ruang dan kebutuhannya.
2.
Penyusunan
rencana tata ruang pesisir.
3.
Penetapan
sempadan pantai dan penanaman mangrove.
4.
Pengendalian
reklamasi pantai.
5.
Pengetatan
baku mutu limbah dan manajemen persampahan.
6.
Penataan
poermukiman kumuh.
7. Perbaikan sistem drainase.
8. Penegakan
hukum secara konsisten.
Pengelolaan
Tujuan pengelolaan adalah mengatasi konflik pemanfaatan ruang
wilayah pesisir, sehingga terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Adapun
target pengelolaan adalah teratasinya permasalahan turunan dari konflik
pemanfaatan ruang, melalui partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah
secara terpadu, yang didukung penegakan hukum secara konsisten yaitu :
1. Tersusun dan dipatuhinya tata ruang
wilayah pesisir.
2. Terkendalinya reklamasi pantai.
3. Terkendalinya pencemaran perairan
4. Tertatanya permukiman kumuh.
5. Kembalinya sempadan pantai dan
rehabilitasi mangrove.
6. Terkendalinya masalah banjir.
7. Terkendalinya masalah abrasi.
8. Terkendalinya sedimentasi.
Salah satu faktor penyubur
terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya pesisir adalah
lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut
harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan
dinas/instansi daerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata,
Industri dan Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain.
Upaya yang harus dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan
kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus
selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang
menyangkut pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.
Di samping kelembagaan
pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta dunia usaha
adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran
perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu
pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha
yang menuju kearah pembangunan berkelanjutan.
Seperti yang dijelaskan diatas, banyak faktor persoalan yang
menyebabkan tidak optimal dan berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan. Namun, kesepakatan umum mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama
adalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan
yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal
karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis
saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta
beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan
yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan
bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan
berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holostik.
Apabilaperencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tidak
dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak
bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan
nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur.
Ditinjau dari sudut pandang
pembangunan berkelanjutan dan status bangsa Indonesia sebagai negara
berkembang, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu
sesungguhnya berada dipersimpangan jalan (at the cross road). Disatu sisi kita
mengahadapi wilayah pesisir yang padat penduduk dengan derap pembangunan yang
intensif dengan pola yang tidak berkelanjutan (unsustainable development
pattern), seperti yang terjadi di Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali,
pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
Sehingga, indikasinya telah terlampaui daya dukung (potensi lestari) dari
ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing),
degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Di sisi lain, masih banyak
kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatan sumberdaya
alamnya belum optimal, kondisi ini umumnya dijumpai di Kawasan Timur Indonesia
(KTI) dan daerah luar jawa lainnya yang belum tersentuh aktivitas pembangunan
(Rahmawaty, 2002).
Bertitik tolak pada kondisi tersebut, sudah waktunya ada kebijakan
dan strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang
dapat menyeimbangkan pemanfaatan antar wilayah dan tidak mengulangi kesalahan
(kerusakan lingkungan dan in-efesiensi), seperti yang terjadi di Kawasan Barat
Indonesia (KBI). Bedasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir,
potensi dan permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan
pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dilakukan melalui
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) (Darajati, 2004).
Pengelolaan
pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, dilakukan melalui beberapa kebijakan,
yaitu:
1. Meningkatkan
pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan untuk menjaga integritas NKRI;
2. Meningkatkan pemanfaatan
sumberdaya pulau-pulau kecil secara terpadu, optimal dan lestari untuk
kesejahteraan masyarakat berbasis pelestarian dan perlindungan lingkungan;
3. Meningkatkan
pengembangan ekonomi wilayah berbasiskan pemberdayaan masyarakat melalui
peningkatan kemampuan SDM, teknologi dan iklim investasi yang kondusif;
4. Meningkatkan sinkronisasi
peraturan perundangan dan penegakan hukum.
Komentar
Posting Komentar